DOKTER MEMERIKSA

DOKTER MEMERIKSA

Rabu, 11 Desember 2013

PERILAKU PERCOBAAN BUNUH DIRI


BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perilaku Percobaan Bunuh Diri

1. Definisi Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt)
        Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan 
“sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman 
mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang 
ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri 
sebagai solusi terbaik dari sebuah isu.  Dia mendeskripsikan  bahwa  keadaan 
mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit 
psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat 
bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang 
bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).
        Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup 
semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan 
melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000). 
Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut 
bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, 
intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan 
bisa mendahului  , misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam,
mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri 
hidup. 

       Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri 
memiliki 4 pengertian, antara lain:

1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
2. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung
(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan
kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.
        Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri
secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai
penyelesaian atas suatu masalah.
        Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh
diri yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks (Maris
dkk.,2000).  Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara
etiologi kedua perilaku tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri
melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri.
Beck (dalam Salkovskis, 1998) mendefinisikan percobaan bunuh diri sebagai
sebuah situasi dimana seseorang telah melakukan sebuah perilaku yang
sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi menghabisi
hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi belum berakibat pada
kematian.Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah
upaya untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat
pada kematian.

2. Metode Bunuh Diri
        Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris
dkk., 2000).  Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan
intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode
memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.

        Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu:

1. obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)
2. menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas)
3. senjata api dan peledak
4. menenggelamkan diri
5. melompat
6. memotong (menyayat dan menusuk)

3. Faktor Penyebab Bunuh Diri

        Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak
fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh
diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut
bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan
derita yang tidak tertahankan  dalam jiwa dan pikiran.  Rasa sakit tersebut pada dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu,
rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena
menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping
itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di otak,
akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis
lainnya (dalam Maris dkk., 2000).
        Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada
saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang
melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut
beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang
berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris
dkk.,2000; Meichenbaum, 2008):

1. Major-depressive illness, affective disorder
2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh
memiliki level alkohol dalam darah yang positif)
3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri
4. Sejarah percobaan bunuh diri
5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga
6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan
7. Hopelessness dan cognitive rigidity
8. Stresor atau kejadian hidup yang  negatif (masalah pekerjaan, pernikahan,
seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan
dengan kelompok teman yang suicidal)9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas
10. Rendahnya tingkat 5-HIAA
11. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global,
halusinasi perintah)
12. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan
bunuh diri)
13. Akses pada media untuk melukai diri sendiri
14. Penyakit fisik dan komplikasinya
15. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas

4. Penjelasan Bunuh Diri

        Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya dipandang
sebagai satu kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang kompleks.

1. Penjelasan Psikologis
        Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk
penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan
pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180
degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang
atau objek yang diinginkan.  Secara psikologis, individu yang beresiko melakukan
bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia
merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum
atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu
mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif
diri terjadi.
       Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah
masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang
sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan  hopelessness. Fokus
pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person
terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian
ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan
dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu
menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.
Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang
menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai
pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan
negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak
berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya,
dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional
(automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu
beresiko melakukan bunuh diri.
        Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari.
Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk
tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan
agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari
reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai
reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat
bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup
dan mati.
Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003)
mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen  paling umum pada perilaku
bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting
pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya
adalah  mood disorder,  schizophrenia,  borderline dan  antisocial personality
disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan.

2. Penjelasan Biologis
        Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis
yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada
gangguan pada level serotonin di otak,  dimana serotonin diasosiasikan dengan
perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh
diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga
yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga
saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung
dengan perilaku bunuh diri.

3. Penjelasan Sosiologis
        Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang
perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya,
yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, &
Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu:

1. Egoistic Suicide
        Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan
masyarakatnya, dimana individu mengalami  underinvolvement dan
underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih  beresiko melakukan perilaku
bunuh diri.

2. Altruistic Suicide
        Individu di sini mengalami  overinvolvement dan  overintegration.  Pada situasi
demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan
masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan  bunuh diri yang dilakukan
demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan
kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar
dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok
dapat dipandang sebagai suatu tugas.

3. Anomic Suicide
        Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur anggotanya.
Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya hasrat terhadap
materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal membantu mengatur
individu karena perubahan yang radikal, kondisi  anomie (tanpa hukum atau
norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan
mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak
oleh kelompok teman sebayanya.

4. Fatalistic Suicide
        Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari  anomic suicide, dimana individu
mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika
seseorang dipenjara atau menjadi budak.

B. Pikiran Bunuh Diri (Suicidal Ideation)

1. Definisi Pikiran Bunuh Diri
        Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa
melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang
yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi
derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit
atau bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang
non-spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya
mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran
yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”).
        Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi
(Maris dkk., 2000). De Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa
antara 67% hingga 84% pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah
hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan
dengan loneliness dan  perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang
paling sering muncul dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris,
dalam Maris dkk., 2000)
        Intensi  merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri
sekaligus merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris
dkk., 2000). Jobes, Berman , dan Josselman  telah mendaftar beberapa kriteria
agar intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan
verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan
untuk mati, hopelessness, dan lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000).

2.Karakteristik Pikiran Bunuh Diri
        Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih
kaku dan bias, penilaian menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan
masa depan menjadi susah diubah (Weishaar, dalam Salkovskis, 1998). Weishaar
juga berpendapat bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif mengubah
persepsi ke arah yang negatif dan menyebabkan kesimpulan yang salah.
Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh
diri antara lain:

1.  Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan
Deficient Problem-Solving
        Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat
dirinya dan orang lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau
kematian, dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel
untuk mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk
penderitaannya. Marzuk, Hartwell, Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford,
2008), menyatakan bahwa  cognitive rigidity merupakan karakteristik yang
mendasari dichotomous thinking dan problem-solving deficit.
Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah  dichotomous (black or
white)  thinking, dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk,
berhasil dan gagal, dan lain sebagainya.
        Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving deficit)
diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas, karena ketidakmampuan
menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan berhubungan dengan baik dengan
masalah impersonal atau masalah interpersonal (Levenson & Neuringer, dalam
Ellis & Rutherford, 2008). Schotte, Cools, dan Pyvar (dalam Ellis & Rutherford,
2008) menambahkan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan masalah
interpersonal merupakan penghubung antara depresi,  hopelessness, dan intensi
bunuh diri. Penyebab  problem-solving deficit belum banyak dipelajari. Namun,
dua faktor yang pasti menentukan adalah overgeneral autobiographical memory
(Pollock & Williams, dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang terdapat di
otak.  Overgeneral autobiographical memory  berguna dalam mengingat situasi
masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam Ellis & Rutherford,
2008), menemukan bahwa pasien dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri
menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang besar, dan ketidakberfungsian ini
lebih besar pada pelaku percobaan yang high-lethality.

2. HopelessnessHopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian
negatif akan terjadi  di masa depan  dan dia akan terus gagal dalam mencapai
tujuannya.
        Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck
(dalam Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan penengah
antara depresi dan kecenderungan bunuh diri.  Hopelessness juga berhubungan
dengan perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam
Ellis & Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat
memprediksi munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis & Rutherford,
2008).

3. Alasan untuk hidup
        Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan
pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk
bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk
menyatakan alasan untuk hidup.  Linehan telah mengembangkan RFL (Reasons
for Living) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu
suicidal dan  non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa
variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein,  &
Nielsen, dalam Ellis & Rutherford, 2008).

4. Perfectionism
        Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal sebagai
faktor resiko melakukan bunuh diri.  Penentuan harapan yang tidak realistis ini
mengakibatkan  self-criticism.  Perfeksionisme dapat dibagi menjadi tiga jenis,
diantaranya  self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri sendiri),  other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan  socially
prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna).
Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan self-oriented
berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.

5. Konsep diri
        Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri
adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya.  Konsep diri ini
terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian,
kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell,
Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006).
         Di samping itu,  Swann  mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu  mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut(self-verification)
(dalam Pervine, Cervone, & John, 2005).
        Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang
lebih sering disebut dengan harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan
penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang
manusia (Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang dirinya secara
positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi, begitu
juga sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang tua
berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh  authoritative
diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh neglected diasosiasikan
dengan harga diri yang rendah (Furnham & Cheng, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan
bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.

6. Ruminative Response Style
        Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan  depresi
merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis &
Rutherford, 2008).  Ruminative response style adalah gaya berpikir yang secara
terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya.  Gaya berpikir ini
terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk aktif (reflection)
(Chan, Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan sebuah perbandingan
pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan
reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri dan bertujuan
untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi.  Brooding dapat
memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan,  reflection
hingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh
diri.

7. Autobiographical Memory
        Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang
pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan
depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh
diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical memory dan
menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan umum (William &
Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini berkaitan dengan bunuh
diri dalam 3 hal berikut:  autobiographical memory yang terlalu umum menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap, merusak kemampuan
menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan
sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di masa depan, dan merusak
kemampuan individu untuk membayangkan masa depan secara spesifik. Hal
tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness dan kecenderungan bunuh diri
pada individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar